Bangsal putih. Aku mencium bau menyengat obat-obatan. Ah, aku membenci tempat ini. Sungguh! Yang tercium oleh indraku hanyalah tangisan pilu dan juga kematian. Entahlah, aku sudah merasa muak dengan tempat ini. Kenapa aku harus kembali ke tempat ini?
“Selamat siang, Alya.” Suster Nena menyapaku dengan senyumnya yang khas, lesung pipit sebelah kanan menambah kecantikan wanita ini.
“Pagi, Suster. Wah..tumben sumringah banget. Hayoo…, abis didatengin cowoknya, ya, tadi malem?”Godaku kepadanya. Aku cukup dekat dengan suster Nena karena umur kami terpaut sekitara 4 tahun. Perawakannya yang kecil dan putih, memanipulasi usia sebenarnya.
“Ah, bisa aja, Mbak Alya” jawabnya malu-malu, sambil memberikan pil yang harus aku telan di pagi ini.
“Hayoo..,benar kan? Kapan, nih, undangannya? Sama siapa, Sus? Dokter Fandy, yah?”
“Gak kok, Mbak. Nanti aja saya kenalkan. Lho, Mbak. Kok, sendirian? Orang tuanya kemana? Dan Pacarnya mana, nih..? Perasaan dari dulu gak pernah dijenguk pacarnya.”Celetuk Suster Nena.
“Pagi, Suster. Wah..tumben sumringah banget. Hayoo…, abis didatengin cowoknya, ya, tadi malem?”Godaku kepadanya. Aku cukup dekat dengan suster Nena karena umur kami terpaut sekitara 4 tahun. Perawakannya yang kecil dan putih, memanipulasi usia sebenarnya.
“Ah, bisa aja, Mbak Alya” jawabnya malu-malu, sambil memberikan pil yang harus aku telan di pagi ini.
“Hayoo..,benar kan? Kapan, nih, undangannya? Sama siapa, Sus? Dokter Fandy, yah?”
“Gak kok, Mbak. Nanti aja saya kenalkan. Lho, Mbak. Kok, sendirian? Orang tuanya kemana? Dan Pacarnya mana, nih..? Perasaan dari dulu gak pernah dijenguk pacarnya.”Celetuk Suster Nena.
Ah, kenapa dia bertanya seperti itu? Ada perasaan sedih mencuat. Hanya helaan nafas panjang yang keluar dari mulutku sebagai jawaban.
“Lho, kenapa, Mbak?”
“Gak papa kok, Sus. Ini… obat yang harus saya minum yang mana saja nanti, Sus?.”Aku mencoba mengalihkan pertanyaan suster Nena. Aku tidak ingin dia bertanya terlalu jauh tentang semuanya. Walaupun Suster Nena benar, bahwa aku membutuhkan lelaki itu saat ini. Aku butuh senyuman dan candaannya yang tolol itu. Ah, aku merindukan dia saat ini, Tuhan.
Pikiranku langsung melayang pada kejadian beberapa waktu yang lalupada sosok lelakiku.
“Besok ke Semarang ya, Say. Dari hari selasa sampai sabtu.hehe…” ucapku manja.
‘Gila! aku bisanya cuma sehari atau dua hari, doang. Lagi pula aku masih ada urusan bayar kuliah di kampus dan lainnya, Say.”
“Gak papa kok, Sus. Ini… obat yang harus saya minum yang mana saja nanti, Sus?.”Aku mencoba mengalihkan pertanyaan suster Nena. Aku tidak ingin dia bertanya terlalu jauh tentang semuanya. Walaupun Suster Nena benar, bahwa aku membutuhkan lelaki itu saat ini. Aku butuh senyuman dan candaannya yang tolol itu. Ah, aku merindukan dia saat ini, Tuhan.
Pikiranku langsung melayang pada kejadian beberapa waktu yang lalupada sosok lelakiku.
“Besok ke Semarang ya, Say. Dari hari selasa sampai sabtu.hehe…” ucapku manja.
‘Gila! aku bisanya cuma sehari atau dua hari, doang. Lagi pula aku masih ada urusan bayar kuliah di kampus dan lainnya, Say.”
Seketika aku kecewa mendengar jawaban penolakan darinya. Kami bertemu hanya sebulan sekali. Ingin rasanya aku bercerita kepadanya tentang penyakit yang kuderita. Dan minggu depan, aku menjalani serangkaian perawatan yang menyakitkan. Ah, aku urung untuk menceritakan kepadanya. Karena aku tahu, kuliah adalah prioritas utamannya sekarang. Aku tidak akan memojokkan dirinya dengan pengakuan dan pilihan ini. Pasti dia akan merasa khawatir, jika seandainya tahu yang sebenarnya. Jujur, dalam keegoisanku, aku ingin dia memenuhi permintaanku untuk pergi bersama ke Semarang. Karena saat ini, kehadirannya aku butuhkan. Tapi.. ya, sudahlah , ini juga demi kebaikan dirinya.
Lamunanku buyar oleh suara suster Nena yang tiba-tiba.
“Mbak Alya, nanti jam 10, ya?!”serunya kepadaku.
“Siap! Suster cantik. Sejam lagi, kan? Oke!”
Suster Nena tersenyum, lalu meninggalkanku sendirian di bangsal ini. Iseng-iseng kubuka salah satu akun jejaringku.
Lamunanku buyar oleh suara suster Nena yang tiba-tiba.
“Mbak Alya, nanti jam 10, ya?!”serunya kepadaku.
“Siap! Suster cantik. Sejam lagi, kan? Oke!”
Suster Nena tersenyum, lalu meninggalkanku sendirian di bangsal ini. Iseng-iseng kubuka salah satu akun jejaringku.
Aku lihat pada dinding akunnya. Sebenarnya ini hanya untuk menghalau perasaan rindu dalam kesepianku. Tapi… hatiku serasa kacau! Ada beberapa tulisan yang dia sebar. Tulisan itu adalah tulisan dari salah satu teman wanitanya. Wanita yang sempat membuatku bertengkar dan merasa cemburu, atas pesan-pesa singkat yang dia kirim ke ponsel lelakiku. Banyak perhatian yang dia lontarkan. Dan jelas-jelas dia tahu bahwa Arwan adalah lelakiku. Kalimat sms darinya tidak akan aku lupa sampai saat ini. ‘Masihkah pantas diriku mengharapkan perhatian darimu?’ Sakiit… sekali! Kata-kata yang membuat kepercayaanku semakin hari semakin terkikis kepada lelakiku, yang ternyata menjalin hubungan dengan dia.
Ah, kenapa aku ini? Aku harus ikhlas! Aku tidak boleh membenci mereka. Sekarang lelaki itu telah bebas, dan dia berhak memilikinya. Tidak terasa pipiku mulai basah. Tiba-tiba ada ketukan di balik pintu kamar. Aku bergegas menyeka air mataku.
“Mbak, bisa dimulai sekarang?”ternyata Suster Nena yang kembali menemuiku.
Aku menjawabnya dengan senyuman dan air mata yang tertahan dipelupuk mata.
“Mbak, bisa dimulai sekarang?”ternyata Suster Nena yang kembali menemuiku.
Aku menjawabnya dengan senyuman dan air mata yang tertahan dipelupuk mata.
Pelan-pelan aku dipindahkan ke suatu ruangan yang tidak ingin aku lihat setelah ini. Mataku tertuju pada peralatan yang begitu mengerikan. Akhirnya jarum suntik itu menghujam tubuhku untuk kesekian kalinya. Cairannya perih.., masuk ke seluruh peredaran darahku dengan sangat pelan. Sampai akhirnya mata ini terasa berat…Semakin berat dan… gelap.