Teman Bisu Rinduku


“sudahlah buat apa kau sambangi tempat ini”
“aku hanya ingin merasakan bayangnya ketika itu”
“kenapa mesti seperti ini, akan sangat menyakitkan untukmu”
“tidak, ini tidak menyakitkan, aku ingin berdamai dengan rasaku tidak lebih”
“kenapa kau menjadi seperti ini, aku kasihan denganmu”
“kasihan kenapa? Aku tidak merana dan tersiksa sekarang, santai saja”
“lihatlah langit sudah mulai abu-abu, kilatan petir sudah merangkai di langit. Pulanglah…”
“aku ingin disini, aku merasa nyaman. Aku ingin dekap hangatnya dia. Sungguh, rasa ini luar biasa”
“Jangan kau siksa dirimu seperti ini, aku tahu hatimu sedang hancur sekarang, mendengar dia bersama dekapan wanita lain. Dia sudah memutuskan untuk meninggalkanmu kan. Jelas sekali dia tidak butuh kau. Dia sudah tidak ada rasa untukmu. Sadarlah..”
“Tidak, aku bisa merasakan kalau rasanya juga sepertiku. Di hari kita terakhir bertemu, dia bilang berharap sekali bersamaku kelak. Aku yakin tidak ada wanita lain walaupun iya terbesit pemikiran tentang wanita lain dalam hidupnya, dan aku masih percaya janjinya”
“kalau memang rasanya sepertimu. Kenapa dia bersama wanita lain. Alasannya dia meninggalkamu juga tidak jelas kan?Kau hanya dijadikan boneka cadangannya. Seandainya dia sudah nyaman dengan wanita itu pastilah kau ditinggalkan seperti sampah. Jangan kau buang waktumu seperti ini”
“dia punya alasan dan aku menyadari bahwa dulu aku pernah membuatnya sakit hati dan benar-benar cemburu, walaupun dia tidak mengungkapkan lainnya tapi aku tetap mempercayainya. Aku bilang tidak ada wanita lain!”
“dan kau ikhlas dengan keputusanya yang abu-abu itu?”
“entahlah..mungkin aku akan menunggunya…mungkin.. karena aku tahu dia bukan pria bangsat seperti lainnya”
“sudahlah jangan menyangkal dan membelanya lagi. Kau terlalu sakit dengan keadaan ini. Aku paham sekali apa yang kau rasakan. Jangan mau kau menjadi boneka yang dinyamankan oleh sebuah janji dan impian seperti itu. Cepatlah matikan benih cinta dan rindumu itu”
“Jikalau aku mampu, kenyataanya aku tak kuasa… dia sangat berharga untuk dimatikan”
“tapi kau sama sekali tak berharga buatnya, ya kan?”
“entahlah…aku tidak tahu… aku sedang mencari jawabnya”
“Kau telah menyia-nyiakan kesempatan untuk pendidikanmu, tapi apa yang kau dapat sekarang? Perpisahan juga kan?”
“aku sangat mencintainya hingga aku mengubur semua mimpiku. Iya aku kehilangan dia dan kehilangan beasiswa itu. Aku ingin memperjuangkan kebahagianku dan ini yang aku korbankan, rasaku dan memberikan kesempatan waktu untuknya bersama wanita itu”
“Tolol kau, terlalu mendramatisir rasa. Apa kau tidak sadar, beasiswa itu adalah mimpimu dan mimpi kedua orangtuamu, apa kau sudah siap dengan imbas yang akan terjadi, mereka akan kecewa dan dia serta wanitanya akan tertawa melihat keterpurukanmu ini. Bangunlah! Ini hidup kenyataan, bukan dongeng kosong yang hanya terjadi di khayalan saja! Buat apa menunggu, cepat beranjak lah!”
“Iya mereka kecewa dengan keputusanku, tapi aku berusaha akan mencari jalan untuk membanggakan mereka dengan cara lain. Aku menerima kenyataan ini, walaupun sakit tapi aku berusaha”
“Terus-teruslah kau berkubang dalam ketololanmu. Teruskanlah… dasar kau gadis tolol”
Angin tiba-tiba mulai sangat kencang di tepi bukit. Petir dan gemuruh suara angin menari acak bersahutan di langit.
“ah… gerimis, dia cinta gerimis”
“Masihkah kau menunggunya hingga kuyup?”
“ ya aku berusaha menunggu sampai dia datang”
Nyanyian ilalang dan angin semakin cepat, menderu bagai segerombolan kuda yang lepas kekang diikuti rasa dingin percikan langit. Senja yang indah berubah menjadi gelap dan sangat kelam. Aku menangis tertunduk pada tepian nisan. Dingin..
Di sini aku hanya sendiri ditemani otak yang menggeliat sesak hingga tak mampu kerongkongan menyampaikan kata yang melesat riuh di otakku. Dua orang yang tak kukenal pun berbaring bisu menemani .Sepasang nisan dan aku buta mengucapnya apalagi mengetahui artinya, huruf cina meliuk-liuk diatas nisan tersebut. Entahlah ini sepasang nama kekasih, nama ibu dan anak, nama bapak dengan anaknya atau mungkin suami istri. Yang pasti sekarang mereka terbaring menjadi satu. Indahnya… Inginku…
LO TJAM DJEN
23 Djuni 1948
ONG KIEM HWA MIO
5 maret 1954
Terima kasih telah menemani monolog rinduku, sepasang orang yang entah siapa kalian. Dingin kulitku mulai menjalar ke hatiku. Apa aku akan menunggumu setia disini seperti boneka? Entahlah… aku ingin enyah bersama angin saat ini, bersama rindu dengan berjuta pertanyaan yang susah ku mengikhlaskan. Tapi aku disini masih dan akan tetap mencintaimu, sayang.