Lelaki Lentera



Aku tersungkur sendirian di suatu tempat yang gelap. Entah tempat apakah ini, aku sendiri asing dan tidak pernah melangkahkan kakiku di tempat ini sebelumnya. Gelap, dingin, sepi dan berbau busuk. Ku langkahkan kaki hingga lemas untuk mencari cahaya, tak perlu cahaya terang, redup lilin menari oleh angin pun akan aku kejar. Tapi, sama sekali tidak ada remang, kelam.

Entah berapa tapak yang sudah aku torehkan di tanah lembek, licin dan berbau busuk ini. Sampai akhirnya tapak ini tak mampu menjejak. Aku putuskan untuk berhenti sejenak mengambil nafas, tak apalah mataku gelap disekitar tapi nafas masih berkenan keluar masuk paru-paruku, gumamku.

Berhenti langkahku… Dingin, hingga aku dekap kedua kaki yang bergetar kedinginan berharap sedikit kehangatan. Ingin ku menangis, aku sangat ketakutan. Takut jika tiba-tiba hewan buas menerkamku atau orang akan menusukku dari belakang dengan belati ditangannya… ah…imajinasi ketakutanku menyeruak liar tak berlogika.

Aku lelah, kornea ini telah lelah bersama retina yang menjelajah mencari cahaya. Tidur… Ya aku ingin tertidur dan berharap ini adalah mimpi… Mimpi gelap yang berharap hanya satu kali aku alami semasa hidupku. Terpejam, terpejam, terpejam komandaku kepada mata….

Hingga akhirnya aku terbangun karena cahaya kuning bergerak seperti menghampiriku. Girang mataku menangkap warna lain selain hitam. Cahaya itu tidak begitu terang seperti lampu. Cahaya itu remang menari di kegelapan. Terlihat remang juga sosok pembawa cahaya. Lelaki dan lentera di tangan kanannya, mantel ditangan kirinya.

Tanpa banyak bicara lelaki itu menaruh mantelnya ke punggungku, mendekapku bersama hangatnya mantel. Sepertinya dia telah mengetahui apa yang aku butuhkan tanpa mulut ini terbuka menyampaikan ingin. Dia hanya terdiam, dan tersenyum setiap aku melihat mukanya.

“Di sini gelap, aku ingin keluar dari tempat ini” pintaku
Tak ada jawaban hanya senyum yang menjawab.
Di genggamnya kedua tanganku. Mengusapkan telapak tangannya di telapak tanganku. Hangat…
“Hangat, terimaksih” kataku

Masih tidak menjawab, hanya tersenyum
Beberapa menit kemudian setelah tangan ini terasa sediki hangat akhirnya dia memegang pundakku. Membantuku berdiri, hingga aku sempurna untuk menopang tubuh lelah ini.

Senyum pun tersimpul kembali. Diulurkan jemari tangan kirinya, berharap sela jemarinya mengajak jemari tangan kananku. Aku beranikan diri untuk menggenggam jemarinya. Hangat, aku mainkan ruas jarinya, kadang menggenggamnya erat kadang melonggarkannya. Nyaman sekali tangan ini, pikirku.

Ah… aku sudah mendapatkan remang cahayaku. Saatnya untuk keluar dari tempat mengerikan ini.
Kita berjalan beriringan berdua, tangan kirinya menggegam gagang lentera. Sungguh mengerikan apa yang aku lihat di sorot lentera. Ular, lipan, kalajengking dan beberapa hewan berbisa sejak dari tadi berada disekitarku, sepertinya mereka berunding mencari waktu untuk menerkamku.

Cahaya lentera itu membuat mereka menjauh, maka ada jalan untuk kami melangkah. Lelaki itu hanya terdiam, sabar… memapahku saat aku tiba-tiba terperosok, menungguku saat aku lelah dan membantuku berdiri saat aku ingin menghentikan langkahku.

Tiba-tiba langkah kita terhenti. Aku melihat jalan itu bercabang dua. Persimpanga, dan keduanya serupa, susunan kerikil, rumput dan ranting yang berserak dijalan keduanya, ada jurang di tepiannya. Sangat serupa… hanya bisa dilalui oleh setapak yang harus bersilangan untuk melaluinya.

“Kita harus melewati mana?” tanyaku

Wajah yang tadinya dihiasi senyum hangat tiba-tiba berubah menjadi serius. Terlihat dari matanya jika dia sedang berfikir keras untuk memutuskan jalan mana yang diambil.
Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sebuah lilin kecil. Belum ada api di sumbunya. Hanya lilin…

“Untuk apa?” tanyaku

Diambilnya lilin itu dan membagi api lentera ke sumbu lilin. Dia melepaskan genggaman tanganku dan memberikan lilin itu. 

“Langkahkan kakimu ke jalan setapak yang ada di lajurmu begitu juga denganku, aku akan mengambil jalan setapak yang ada diarahku ini”
“Tidak bisakah kita memilih salah satu dari keduanya dan kita berjalan bersama”
“Tidak bisa, jalan ini hanya bisa dilalui satu langkah, jika kita memaksakan untuk berjalan salah satu dari kita akan terperosok atau mungkin kita berdua akan terperosok kejurang itu”
“Apa ujung jalan ini akan bertemu?”
“Entahlah lentera ini tidak bisa menjangkau di depan sana”
Aku melihat api lilin sudah menari tak beraturan, dan tubuh lilin pun perlahan meleleh.
“Bagaimana kalau lilin ini habis dan akhirnya mati. Dan aku berada di kegelapan lagi?”
“Maka dari itu bergegaslah ambil langkahmu, disana akan ada orang yang membawakan cahaya lagi. Bersungguh-sungguh lah berharap, pasti dia akan datang”

Aku tersenyum kearah lelaki pembawa lentera itu. Inginku tak mau menggenggam jemari dan pelukan hangat tadi. Tiba-tiba lelaki itu mendaratkan kecupan di kening seperti ingin meyakinkanku kalau di sana didepan sana memang jalanku dan akan ada pembawa lentera lagi yang akan membantuku.

Senyum…
Aku membalasnya dengan senyum lsedikit lara
Dan akhirnya kita terpisah pada persimpangan, pada remang lentera dan sebatang lilin.