Acik Pengkhianat #2

Belum kamu akhiri episode kemarin sore, tapi kini dirimu telah berlalu dan pergi. Apa yang kau beri hanya badai di dalam segelas kopi. Hitam, pahit, dan getir robusta. Cinta… cinta, apalah nian maka kamu belum tahu akan maksudku? Segalanya akan lengkap, segalanya akan lengkap Tuhanku.
Terasa hangat, lembut telapak tangan seseorang menggesek-gesek dahiku. Mengelusnya kebelakang. Setengah terbuka mataku menerawang samar wajahnya. Seakan lekat dia juga menatapku. Sebentar kemudian dia tersenyum dan menyapa. Suara lelaki.
“Sudah bangun ya?”Dari setengah terbuka aku benar-benar membuka mataku lebar-lebar. Aku menoleh kekanan dan kekiri. Mataku mencoba meraba ke setiap detail sudut ruangan yang ada disana. Sempat kaget. Rupanya aku berada di ruang rawat PUSKESMAS. Desah angin dari jendela kaca yang terbuka miring meniupkan kesegaran. Menyeruakkan aroma khas keluguan alam desa Rangkat. Seperti– Anda tahu–semacam aroma damai. Begitu sangat menentramkan hati.

“Hei, kamu sudah bangun ya?” lelaki itu menyapaku kembali.
“Siapa kamu?” tanyaku.
Aku belum siuman betul dari koma sementaraku. Belum aku tata kembali kedalaman rasa dari hati yang cidera. Namun dari situ aku telah menemukan makna hidup hingga ketitik yang terjauh.
“Seseorang yang mengenalmu.” jawab lelaki itu.
Aku masih membiarkan dia mengelus rambut dan memegang telapak tanganku. Lemah. Tak sanggup aku gerakkan tubuh ini.
“Siapa? Siapa kamu? Aku tak pernah melihatmu.”
Dia tersenyum.
“Jangan kamu berburuk sangka dululah. Aku orang baru di desa ini. Tiga bulan yang lalu aku baru pindah dari desaku yang lama. Memang, dirimu tak mengenalku, tapi diriku cukup mengenalmu.” ungkap lelaki itu.
Aku tak menggubrisnya. Mataku jauh memandangi langit yang membentuk sebuah kubah parabola biru diluar jendela sampingku, digurati garis-garis tipis awan putih ditepian lengkungannya, menggumpal berarakan, lamat-lamat aku melihat dari pelupuk mataku, bergerak pelan timbul tenggelam diterbangkan angin, menggelung-gelung, dan kemudian secara perlahan menguap dan lenyap diterpa cahaya matahari yang belum begitu terang pagi ini. Dan secara perlahan aku melupakan kejadian sore itu. Pengkhianatan Acik, dan Halim yang tak menginginkan aku.
“Namaku, Peran. Dan kamu, namamu Aiy, bukan? Hehe…” tak ada jemu lelaki itu bertanya tentangku.
Aku terkesiap.
“Hei, jangan sok tahu loe. Tahu apa loe tentang gue, hah?? Mending loe pergi deh!”
“Aku hanya ingin menemanimu Aiy.”
“Gue kagak butuh temen.”
“Kenapa?”
“Gue bilang pergi ya pergi,pergi loe!.”
“Aku hanya ingin melihatmu baik-baik saja Aiy.”
“Lha…loe siapa gue?” aku lepaskan telapak tanganku dari genggamannya.
Dan sejenak lelaki itu terdiam. Aku jadi tak tega melihatnya begitu.
“Baik, aku akan pulang. Barangkali kamu membutuhkan waktu untuk sendirian. Tapi besok, setiap pagi dan sore aku akan menjengukmu. Sampai kamu benar-benar sembuh.”
Setelah berpamitan dia berlalu dan pulang meninggalkanku. Selang beberapa waktu kemudian Babeh datang menjengukku. Menanyakan keadaanku. Dan aku jawab baik-baik saja. Walau luka lebam disekitaran wajahku masih terasa linu. Tapi aku tak ingin membuat Babeh dan Enyak kawatir. Biarlah sesekali dia mendapatkan ketenangan atas kelakuan anaknya ini.
“Aiy…loe baik-baik ye disini. Babeh mau pulang dulu, kasian Enyak loe sendirian dirumah. Nanti malem, habis Isya’, Babeh kemari lagi dah nemenin loe, yeh…”
“Iye, Beh… Ati-ati dijalan ya Beh…”
Setelah aku cium telapak tangan Babeh, Babeh berpamitan dan pulang meninggalkanku. Sendirian. Kembali aku hanya sendirian.
Dan waktu yang berjalan begitu cepat berlalu. Hari telah menjelang sore. Aku jadi teringat kata-kata dari lelaki itu, dia akan menjengukku saat pagi dan sore hari. Akankah dia benar-benar menjengukku? Ah, kenapa pula aku memikirkan lelaki yang tak jelas asal-usulnya itu. Tapi dia sepertinya tulus ingin mengenalku. Walau aku tak begitu mengenalnya tapi sepertinya dia bersungguh-sungguh